Oleh : Farid Ridwanullah
"Akhir Dari pemikiran Adalah pergerakan Dan Akhir Dari pergerakan Adalah pemikiran"
(Abdu Rahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah)
Upaya memikirkan dan memajukan PII telah lama ditunggu-tunggu. Telah
lama kita terjebak dalam kubangan ketidakjelasan gerakan karena visi
dan misi tidak di ilmui serta tidak dijadikan pijakan dalam setiap
gerakan lembaga. sejak kelahirannya PII senantiasa menorehkan tinta
emas sejarah bagi agama, bangsa dan Negara. Tinta emas tersebut dapat
kita saksikan dan rasakan secara kolektif, banyaknya kader-kader PII
yang "bertebaran" diberbagai institusi keummatan dan menjadi think
thank, menunjukan bahwa system dan perangkat kaderisasi PII telah
berhasil membentuk manusia-manusia yang siap berhadapan dengan
realitas dizamannya walaupun system tersebut masih terus dalam tahap
penyempurnaan.
Mengamini apa yang disampaikan oleh Ridho, Ketum PW PII Jogjakarta,
secara ontologis PII perlu melakukan rethinking dan remaining (saya
lebih suka membahasakannya rekonstruksi) terhadap berbagai perangkat
keber'ada'annya ditengah realitas yang terus bergerak tak terbendung
ini. Kemalasan untuk melakukannya menyebabkan kita merasa tersiksa dan
tidak betah dalam dalam dunia yang terus berubah, semakin maju dan
semakin canggih setiap harinya. Me-rethinking dan me-remaining
janganlah dimaknai mendekonstruksi pelbagai perangkat keber'ada'an
PII, semangat itu harus dimaknai sebagai aktifitas merenungkan,
menafsirkan dan menerjemahkan visi dan misi PII dalam ruang dan waktu
yang senantiasa berubah dan terus berubah. Semangat dan aktifitas
seperti inilah yang akan membawa PII menemukan eksistensinya ditengah
kepungan realitas diluar dirinya.
Dalam doktrin Islam kita mengenal konsep ijtihad sebagai aktifitas
intelektual yang kreatif ditengah realitas yang terus berubah. Dalam
rekaman sejarah idealitas nilai ajaran islam yang bersifat perennial
dan absolute senatiasa sanggup berdialog dengan realitas empiris yang
bersifat relatif. Adalah Umar Bin Khattab sosok yang memulai tradisi
praksis ijtihad pada zamannya. Ia mampu menangkap semangat ajaran
islam yang bersifat parrenial dan metahistoris serta mampu
menerjemahkannya sesuai dengan tuntutan zamannya. Ia adalah pribadi
cerdas yang berani melakukan aktifitas tafsir terhadap teks-teks al
qur'an dan sunnah tanpa terjebak kepada makna literal dan harfiahnya.
Bahkan keberaniannya itu terkadang menimbulkan kontroversi bagi
sahabatnya yang lain, semisal Bilal Bin Rabah yang notabene bekas
budak. keberanian umar tersebut sangat dihargai dan diapresiasi oleh
sahabat-sahabat lainnya yang pernah belajar kepada Nabi. Diantara
produk ijtihad umar yang dapat kita lacak dalam berbagai literatur
adalah kodifikasi Mushaf Al Qur'an, adzan jum'ah 2 kali, ghanimah yang
dibagikan kepada penduduk lokal dan tidak dibagikan kepada tentara
muslim, shalat tarawih berjama'ah, dan masih banyak lagi. Pernah suatu
waktu Umar beradu argumen dengan Bilal terkait ijtihad-ijtihadnya yang
menurut bilal bertentangan dengan Al Qur'an dan sunnah, Umar pun
tidak bisa menangkap alur logika bilal yang cendrung emosional,
sehingga akhirnya Umar berdoa "ya Allah jauhkanlah aku dari Bilal dan
teman-temannya (yang sependirian dengannya)". Terlepas dari
kontroversi produk ijtihadnya, sejarah mencatat bahwa pada periode
Umar lah agama Islam mengalami kemajuannya yang luar biasa. Ada sebuah
hadis yang menarik kita perhatikan, hadis itu berbunyi "kalaulah ada
nabi setelahku (Nabi Muhammad SAW), maka pastiah Umar Bin Khattab
orangnya" (Al Hadits). Hadis tersebut menunjukan bentuk penghargaan
dan apresiasi nabi terhadap sosok umar yang cerdas dan berani dalam
menafsirkan ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan tantangan zamannya.
Tampaknya kemalasan melakukan aktifitas intelektual kreatif itulah
yang membelenggu umat Islam umumnya dan PII khususnya sehingga secara
tidak sadar kita betah dengan stagnasi dan kejumudan ini. Padahal
beberapa abad yang lalu Ibnu Taymiah pernah mengumandangkan bahwa
pintu ijtihad harus senatiasa dibuka selebar-lebarnya supaya
ajaran-ajaran Islam mampu menjawab problem-problem kemanusiaan yang
terus berubah. Akan tetapi umat Islam dan PII khususnya tidak
menghiraukan seruan sang Syaikhul Islam Rahimahullahu. Mengutip tesis
Ziauddin Sardar, ia mengatakan bahwa `umat Islam telah gagal memahami
dan merespon seruan ijtihad karena alasan yang sangat mendasar, yaitu
fakta bahwa konteks teks-teks suci (penafsiaran) kita telah membeku
dalam dalam sejarah. kita hanya memiliki satu hubungan interpretatif
dengan sebuah teks atau lebih buruk lagi kepada konteks yang diterima
dan diromantisi yang tidak pernah ada dalam sejarah. Inilah sebabnya
sementara umat Islam memiliki keterikatan emosional yang kuat terhadap
Islam' (Sardar, 2005). Tesis Sardar sangat relevan dengan apa yang di
alami oleh kaum muslimin dan PII khususnya. Keterjebakan kita dalam
ketidak beranian untuk menafsir ulang terhadap al qur'an dan hadis
menjadi sebab kemunduran kita bersama.
Kita Tidak perlu merasa takut dan salah dalam melakukan aktifitas
kreatif ini (ijtihad), karena secara normatif ajaran islam baik al
qur'an maupun hadits sangat menghargainya. Tedapat sabda Nabi yang
mengatakan bahwa `produk ijtihad apabila salah maka akan diberikan 1
pahala, apabila benar maka akan mendapat dua pahala'.
Dalam hierarki hukum PII, falsafah gerakan diposisikan dalam urutan
ketiga setelah Al Qur'an Dan As Sunnah. Hal ini menunjukan bahwa PII
memilliki komitmen terhadap identitas ke-Islaman sekaligus komitmen
terhadap akal (nalar) sebagai rahim dari kemajuan peradaban. Akal
(nalar) semestinya digunakan untuk meramu semangat wahyu dengan
ilmu-ilmu produk nalar manusia sebagai pisau analisa terhadap realitas
hari ini. Dalam konteks inilah PII akan senantiasa mengalami
"pembaruan" dirinya ditengah kehidupan yang semakin canggih. Secara
pribadi saya belum cukup memahami, kenapa PII berani meletakan
falsafah dalam urutan ke-3 dalam hierarkinya, padahal dalam beberapa
madzhab fiqih, hierarki hukum Islam biasanya menempatkan ijma' atau
qiyas sebagai hierarki ketiga setelah al qur'an dan as sunnah. Satu
hal yang baru saya fahami bahwa PII –sebagaimana ajaran Islam- sangat
menghargai aktifitas intelektual yang kreatif (ijtihad), hal inilah
yang menjadikan PII dalam sejarah perjuangannya tetap eksis ditangah
berbagai rintangan yang menerpanya.
Kembali kepada me-rekonstruksi, Muhammad Iqbal mengatakan, seandainya
ajaran Islam itu bersifat spiritual dan transendental an sich serta
diperuntukan bagi konsumsi personal, maka Nabi Muhammad tidak akan
turun lagi kedunia setelah ia bertemu dengan Allah pada waktu isra'
mi'raj. Akan tetapi ia (Rasulullah) berani untuk kembali kedunia nyata
yang penuh dengan permasalahan demi melanjutkan misi profetiknya.
Setelah pulang dari "rekreasi"nya itu ia melakukan perubahan terhadap
kesadaran berpikir masyarakatnya. Sebagaimana kita temukan dalam Al
Qur'an, misi profetik Sang Manusia Agung tersebut adalah yu'allimunal
kitaba wal hikmah (lihat surat Al Jumu'ah ayat 2). Konsep ini
mengandung makna bahwa, pada satu sisi ajaran Rasulullah SAW
mengajarkan kepada kita untuk selalu mencintai Al Kitab sebagai sumber
utama (Al Qur'an Dan Hadis) dengan senantiasa meyakini, meng-ilmui-
dan merealisasikannya, pada sisi yang lain beliau menganjurkan kita
untuk selalu mempelajari ilmu-ilmu yang merupakan produk nalar manusia
(Al Hikmah) tanpa merasa asing dengannya. Berkaitan dengan hal ini, Al
Ghazali, sang Hujjatul Islam, mengatakan bahwa "hikmah itu ibarat
barang yang hilang dari orang mu'min, maka pungutlah ia dimanapun kita
menemukannya".
Umat Islam pada masa pertengahan barangkali dapat dijadikan rujukan
dalam upaya rekonstruksi ini, mereka adalah pribadi-pribadi yang akrab
dengan karya-karya filsafat yunani yang notabene paganis, akan tetapi
pada saat yang bersamaan mereka adalah para individu yang sangat
memegang teguh identitas keislaman mereka. Aktifitas keilmuan bagi
mereka adalah satu keniscayaan dalam kehidupan beragama mereka. Tidak
ada peng'anak-tiri'an bagi aktifitas keilmuan dan peng'anak-emas'an
bagi untuk aktifitas keberagamaan, karena aktifitas keilmuan merupakan
bentuk utama dalam aktifitas keberagamaan sekaligus aktifitas
keagamaan merupakan aktifitas keilmuan. Mereka tidak alergi terhadap
filsafat atau ilmu pengetahuan asing yang berasal dari luar islam dan
selalu diharamkan oleh sebagian ulama (fiqih), akan tetapi mereka
berhasil meramu al kitab dan al hikmah untuk membangun izzul islam wal
muslimin. Ibnu Taymiah yang termasuk diantara penolak keras filsafat
ternyata juga menerima filsafat, dalam kitab Minhaj As Sunnah An
Nabawiyyah Fi Naqd Kalam Asy Syi'ah Wal Qadariah, Ia mensyaratkan
filsafat haruslah berdasarkan kepada akal yang sehta dan berpijak
kepada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi. Filsafat demikian ia
sebut sebagai al falsafah al haqiqiyyah atau al falsafah ash shahihah.
Bahkan yang lebih menggemparkan adalah, Ia adalah sosok yang menggagas
logika empirisme jauh sebelum dirumuskan oleh Jhon Locke. Adagium yang
selalu ia nyatakan adalah "al haqîqatu fi al a'yân lâ fi adzhân"
(kebenaran itu bukanlah apa yang ada dalam fikiran, akan tetapi
kebenaran itu adalah apa yang ada dalam kenyataan).
PII dalam keber'ada'annya mestilah merekonstruksi kembali ruh
gerakannya dengan merubah cara pandangnya terhadap Al Kitab (al qur'an
dan hadits), Al Hikmah (ilmu-ilmu produk nalar manusia) dan realitas
serta hubungan antara ketiganya. Tradisi belajar mestilah terus di
tanamkan dan gelorakan dalam tubuh PII supaya daya baca dan daya
analisa kita tidak mengalami ketumpulan seiring dengan berjalannya
waktu. Sudah saatnya PII kembali kepada ruh gerakannya dengan
menyuburkan tradisi intelektualitas sebagai bentuk jawaban terhadap
maju dan canggihnya kehidupan manusia dan demi membangun masa depan
izzul islam wal muslilmin. Sebagai bukti keberimanan kita terhadap al
qur'an, kita ditantang untuk mengamalkan wahyu yang pertama kali turun
mendahului perintah sholat dan ibadah-ibadah lainnya yaitu menggunakan
akal (nalar) dalam bentuk membaca, berdiskusi dan menulis serta
meneliti yang berpijak pada kesadaran transendental. Sudah saatnya
kita menyuburkan aktifitas keilmuan dalam institusi yang bernama PII,
dan bukan aktifitas yang bersifat sporadis laksana menara gading demi
mendapatkan popularitas personal. kita harus membangun kader-kader
yang tidak bangga apabila dekat dengan kakuasaan, akan tetapi yang
harus kita bangun adalah kader-kader PII yang memiliki basis tradisi
belajar setiap waktu. Menyepakati Ibnu Khaldun dalam menganalisa sebab
kejatuhan dan kebangkitan sebuah peradaban, ia mengatakan bahwa sebuah
peradaban akan bangkit dari keterpurukannya apabila peradaban tersebut
memilliki komitmen terhadap ilmu pengetahuan sebagai bentuk penggunaan
terhadap potensi nalarnya. Sebaliknya ia menyatakan bahwa sebab
jatuhnya sebuah Peradaban adalah ketidakpedulian terhadap ilmu
pengetahuan dan lebih mementingkan kerakusan terhadap harta dan kekuasaan.
Google News - World
KabarIndonesia
Eramuslim
Pergerakan Pelajar
Form Pendaftaran Anggota Baru PII
PII diharapkan terus berkembang menjadi organisasi yang kuat di Indonesia. Untuk itu, kami setiap saat menerima anggota baru. Silakan isi form di bawah ini. Kami upayakan segera menindaklanjuti. Dapatkan segera berbagai pembinaan dan kegiatan dari kami!
Rabu, 17 Oktober 2007
Limadza Taakhara PII?
Diposting oleh Pelajar Islam Cabang Pasuruan di 06.32
Label: Tentang PII
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar